Pagi yang indah dan mentari bersinar lembut ketika saya keluar dari rumah pada hari itu. Tepat pukul 07.00 WITA, saya bergeser dari rumah menuju ke Antang untuk menjemput Nawar, kawan seperjuangan dan seperjalanan ke kabupaten seberang, Pangkep.
Hari ini jalanan sedikit lengang dari kepadatan kendaraan bermotor di Makassar, setelah sekian lama menerkanerka dan bertanya pada diri sendiri ada apa gerangan, kenapa bisa Makassar jam tujuh pagi masih lowong ? Ternyata hari Jumat kali ini, tepat tanggal 14 April 2017 merupakan hari libur nasional, wafat Isa Almasih. Pantasan saja jalanan menjadi lengang, long weekend braayy.
Perjalanan menuju ke Pangkep menempuh waktu sekitar 2 jam dari Makassar dengan menggunakan motor dan tidak terjebak kemacetan panjang di simpang lima bandara Int. Hasanuddin, yang merupakan titik macet paling parah di Makassar menuju kabupaten setelah Maros.
Setibanya saya dan Nawar di dermaga Pangkep, saya melihat beberapa kawan yang tiba terlebih dahulu, ada Accul, Kak Nhoe, Ita, Kak Ardhe, dan Yaumil. Setelah sempat berdisksui singkat, saya dituntun Ita, menuju sebuah rumah yang menjadi tempat kami menitipkan kendaraan. Di sana saya melihat Chedar, Tenri dan Ipul yang sedari tadi menantikan kedatangan kami untuk menyimpan kendaraan.
Perjalanan dari daratan Pangkep kota menuju ke pulau Kulambing memakan waktu sekitar 50 menit, dengan jalur terpanjang yang dilalui adalah Sungai Bucinri, mappasaile Pangkep. Kami menggunakan kapal yang dinakhodai oleh Bapak Kahar, dengan kapal sepanjang kurang lebih 10 meter dan tinggi sekitar 1 meter. Sepanjang perjalanan, pada bagian tengah sungai mata kami melihat wilayah pemukiman warga yang lumayan padat, hingga akhirnya pada hilir sungai, mata kami dimanjakan dengan hijaunya hamparan hutan bakau. Hutan bakau yang rimbun dan asri. Jika kita sedikit memainkan imajinasi, kita bisa merasakan sensasi luar biasa seolah sedang tersesat di tengah hutan belantara dan berada dipembuatan film anaconda.
wefie dalam kapal
Lepas dari hilir sungai, kami mengarungi lautan yang di tengah laut tersebut terdapat banyak kapal besar milik PT. Semen Tonasa, sebuah perusahaan penghasil semen di Sulawesi Selatan. Awalnya saya mengira kapal tersebut merupakan kapal kosong yang hanya didatangi jika terdapat masalah pada kapal, ternyata dugaanku salah. Tiap kapal besar di tengah lautan tersebut berpenghuni oleh manusia yang sedang bekerja.
Tak lama di atas lautan, kami melihat pulau yang kami tuju. Kapal menepi pada salah satu dermaga dan disambut suara penceramah di masjid yang sedang menyampaikan dakwahnya, menandakan sudah masuk waktu sholat Jumat bagi kaum adam. Dengan langkah sedikit cepat, dan dengan rasa bingung mencari rumah pak desa, setelah bertanya pada warga sekitar, sampailah kami di rumah pak desa. Rumah panggung yang merupakan ciri khas rumah adat suku bugis, yang bagian rumahnya terbuat dari kayu (bagian atas), pada bagian bawahnya pak desa membangunnya menggunakan tembok bata.
taken by Tenri
Setibanya kami, kami disambut oleh anak Pak Desa di rumahnya, kemudian para kaum adam menyegerakan diri ke masjid untuk melaksanakan sholat Jumat berjama’ah. Sedangkan kaum hawa ngapain ? Kaum hawa merebahkan tubuh dengan merasakan sensasi sauna di dalam rumah. Siang kali ini terasa bagaikan berada dalam rumah sauna, entah berapa suhunya berapa derajat, ditambah lagi listrik yang hanya dialirkan pada malam hari dan tidak adanya kipas angin di rumah pak desa. Dehidrasi langsung datang menghampiri, haus dan tubuh rasanya seperti ikan yang sedang dijemur kering untuk dijadikan ikan asin. PANAASSSSS
Ooohhh iyaaa, saya belum menjelaskan alasan mengapa saya dan kawan saya pergi ke pulau Kulambing ini. Kami ke pulau ini dalam rangka melaksanakan salah satu kegiatan inti dari lima kegiatan inti SIGi Makassar, yaitu Teater Edukasi Keliling atau yang biasa disingkat Telling. Telling adalah salah satu modus volunteer SIGi yang selalu sakau liburan tetapi tetap ingin menebar kebaikan. Di Telling ini, kami para volunteer memutar film edukasi untuk adik-adik atau warga sekitar. Terget lokasi untuk telling itu selalu mencari daerah terpencil atau daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Telling di pulau Kulambing ini merupakan Telling SIGi yang ke 5 dan volunteer menjadi penanggung jawab kali ini adalah Ita, yang malam setiba kami di pulau mengalami syndrome panik-panik alay. Apa itu sindrom panik-panik alay ? Sindrom panik-panik alay adalah gejala yang muncul ketika anda memegang amanah, namun posisi anda berada di daerah yang jauh dari rumah dan perlengkapan bertempur masih belum pasti. Saat makan, saat menikmati alam, saat becerita bahkan sesaat sebelum tidurpun rasanya ibarat menjinakkan bom, salah memutus kabel bisa meledak.
Sore pertama kami di Pulau Kulambing
kiri ke kanan, Yaumil, kak Nhoe, Nawar, Chedar, Tenri, Ipul, Accul, Kiu dan kak Ardhe.Foto taken by Ita
Esok paginya, selepas sholat subuh kami bersepuluh berjalan menuju dermaga untuk menyambut mentari pagi, sebuah moment yang sangat jarang kami temukan ketika kami berada di Makassar. Menikmati suara riak lautan ditemani dengan udara segar serta hangatnya matahari yang masih malu untuk memanggang kami.
pagi hari di 15 April 2017, taken by Tenri
Pagi ini, selain kami yang menikmati lautan dan beberapa dari kami yang sedang nyemplung di laut, ada juga kawan kami di Makassar yang sedang bersiap menuju ke Pulau Kulambing ini. Kloter kedua sedang bersiap dan menyediakan amunisi tambahan untuk pemutaran film yang menjadi sumber panik-panik alaynya Ita.
Siang hari kami diundang untuk makan siang oleh Kak Sidin yang merupakan teman masa kecil kak Nhoe. Hidangan yang sangat istimewa, cumi goreng dan cumi masak hitam dibarengi dengan sayur tumis tahu dan sambal yang sangat menggugah selera. Sepulang dari rumah Kak Sidin, ternyata kawan kami yang dari Makassar telah tiba di rumah pak desa dan sedang menikmati hidangan makan siangnya.
Akhirnya hari ini tiba juga, hari di mana kami bermain dengan adik-adik pada sore hari dan malamnya akan diadakan pemutaran film. Di pagi hari, pihak dari SIGi Makassar sudah berbicara dan menginformasikan kepada adik-adik di sekolah kalau sore hari pukul 17.00 WITA nanti akan ada acara di lapangan, atas izin dari pak desa dan kepala sekolah.
Tak disangka, antusiasme adik-adik di sini sangat besar, setelah sholat Ashar sudah ada adik-adik yang datang berkumpul di rumah pak desa. Tepat pukul 4 sore, beberapa volunteer akhirnya menuju ke lapangan bersama dengan adik-adik yang datang menjemput paksa kami.
Menjelang magrib, semua permainan diakhiri. Adik-adik diberikan informasi untuk datang menonton film di lapangan jam 8 malam nanti. Selepas itu, saatnya para volunteer SIGi memanjakan diri dengan berburu matahari terbenam.
taken by Tenri
depan ke belakang, Tenri, Ayu, Nawar, Kak Nhoe, Kiu, Kak Ardhe, Yaya, Accul, Nting, Nisya, Tini, Pina, Kak Haris dan Yaumil
Pemutaran film malam ini berjalan sukses, adik-adik bertahan dari awal pemutaran film hingga akhir. Berantusias tinggi ketika diberi pertanyaan.
Tugas kami di pulau ini telah selesai. Berbagi keceriaan dengan adik-adik di pulau Kulambing. Respon yang kami terimapun di luar perkiraan kami. Saatnya kami pulang dengan sejuta cerita yang kami peroleh selama di sana.
Hari Ahad kamipun berpamitan kepada bapak kepala desa dan ibu desa. Berkat bantuan mereka, kegiatan telling ini bisa berjalan dengan lancar.
Foto bersama para volunteer SIGi Makassar dan keluarga Bapak Kepala Desa
Aaaaaaa, kenapa judulnya Kambing-Kambing dan Pulau Kulambing ? Kambing-kambing merupakan makanan yang terbuat dari pisang yang dipotong kecil kemudian dicampurkan terigu dan sedikit garam kemudian digoreng menggunakan minyak. Selama di Pulau Kulambing ini, camilan kami hanya kambing-kambing. Karena hanya itu yang mudah dibuat dan menghasilkan hasil akhir yang banyak dari jumlah pisang yang sedikit. Dari pagi sampai pagi lagi, yang dikunyah sebagian besar yaaahh kambing-kambing. Karena kambing-kambing dan pulau Kulambing mempunyai ceritanya tersendiri..